"Angan" namanya. Kata orang tua, kelakuannya mirip sekali dengan saya waktu kecil, tidak mau diam. (tapi saya gak ingat)
Sepulang saya kerja kadang-kadang dia berulah, makanan berkuah/minumannya yang tinggal sedikit ditumpahkan ke lantai kemudian digosok-gosok pakai kakinya. Saya khawatir air yang tumpah di lantai membuat dia terpleset. Kadang-kadang saya lepas kontrol sehingga bicara dengan agak keras kepadanya supaya dia nurut, tapi setelahnya saya selalu menyesal. Dan dia belum pernah nurut jika dinasehati dengan kasar.
Malam tadi, selepas solat magrib, saya berniat membaca alquran, lalu angan meminta alquran yang biasa dibaca ibunya. Saya memberikan buku iqro kepadanya, karena biasanya alquran hanya dijadikan mainan olehnya. Tak seperti biasanya, dia nggak ngeyel dan mau diberikan iqro. Saat saya mulai mengaji, dia meminta saya untuk membacakan iqro, kemudian saya memangku angan dan membacakan iqro nya. Ia mulai mengikuti bacaan saya, lalu saya meminta ia yang membaca hurufnya (dia sudah hafal hijaiyah dengan menggunakan lagu). Akhirnya dia membaca iqro dengan saya menuntun jarinya untuk menunjukkan huruf yang dibaca, ia membaca sampai huruf Jim (Ja) sebelum akhirnya bosan.
Betapa senang saya melihatnya lancar membaca iqro untuk kali pertama.
Saya tidak mengingat apapun saat saya masih seusia Angan. Dimarahi atau dipuji saya tak ingat. Mungkin begitu juga dengan angan nanti.
Sebagai orang tua saya hanya harus meninggalkan memori-memori indah pada anak, bahkan jika anak sedang membuat kesal, sepertinya saya sebagai orang tua yang harus menambah kapasitas kesabaran.
No comments:
Post a Comment