Terlalu lama berada berada di comfort zone. udara sejuk, peradaban maju, akses mudah, lingkungan ramah seringkali melenakan. Banyak yang kemudian mengeluh ketika pindah ke zona yang tingkat kenyamanannya lebih rendah. Mulai dari berkicau di dunia maya, melancarkan keluhan pada tetangga, hingga selalu membuka obrolan dengan topik perbandingan kenyamanan antara tempat asalnya dengan tempat barunya.
Yang paling sering terlihat adalah di kalangan mahasiswa, lihat saja tulisan-tulisan mereka di tempat kkn yang kurang nyaman setelah satu minggu pelaksanaan, tweet dengan topik "kangen kota, kangen keluarga, koneksi internet yang kurang baik, ketiadaan sinyal untuk operator selulernya dan jalan yang rusak" muncul silih berganti dengan berbagai macam kemasan.
Ada yang mengemasnya dalam doa
"semoga puasa pertama nanti bisa bareng keluarga"
dalam perbandingan
"di kosan, dapet sinyal edge udah ngeluh, disini dapet GPRS aja udah harus bersyukur"
dalam ratapan
"aaa... ga betah, pengen pulang"
dalam narasi
"bersiap-siap untuk perjalanan 4 jam offroad menuju desa *** "
Tentu saja masih banyak kemasan kreatif tentang cerita mereka ketika berada di zona nyaman yang levelnya setingkat dibawah biasanya.
Fenomena seperti tentu saja umum, karena memang sangat biasa terjadi. Kenyamanan seringkali melenakan, terlebih bila sudah dibiasakan.
Biasanya untuk menghindari kemapanan dalam zona nyaman, saya bepergian ke tempat lain. Sebenarnya bukan bertujuan ke tempat yang tidak nyaman, hanya saja dalam perjalanan, saya beberapa kali mengalami hal-hal yang tidak nyaman. Yah, setidaknya membiasakan diri berada di zona yang tidak nyaman, tidak ada sinyal, jalanan rusak, akses keluar terbatas, sekali lagi hanya untuk menghindari bersikap "wah" ketika berada di zona yang tidak nyaman, dan mengurangi sikap mengeluh ketika berada pada kondisi yang tidak seharusnya.
Menurut saya, nyaman atau tidak nyaman itu hanyalah masalah perspektif, masalah kebiasaan. Semua bisa karena awalnya terpaksa, setelahnya baru karena biasa.
kembali dengan .com :)). Tantangan mahasiswa sekarang memang beda. Kini justru kenyamanan yang menjadi musuh.
ReplyDeletesemacam dua sisi mata uang, ada sisi kawan ada sisi lawan, tergantung bagaimana kita memanfaatkannya, mungkin begitu ya kang.
DeleteKalau membuat perbandingan dari beberapa angkatan UPI, saya kira kenyamanan malah menjadikan penghalang yang besar untuk berkarya. Saya cukup hapal beberapa angkatan tua sebelum saya yang jangankan untuk memiliki akses kenyamanan teknologi, untuk membayar kost-kost-an saja malah tidak mampu. Tapi dari "menderita"nya mereka, ada beberapa karya yang lahir. Sebagai contoh di jurusan saya, buku Menembus Buana yang bisa dibilang dibuat oleh orang-orang yang ingin makan saja mesti ngirit :)).
Deleteyah nama juga manusia, dikit2 ngeluh wajar lah. tapi terlalu sering juga biki enek sih pa lagi tiap jam posting di dunia maya. bisa jadi mereka cuma cari sensai biar orang2 pada simpati gitu dah. yang penting mah kita tetep bersyukur pada Tuhan sudah di beri kenikmatan n keep smile jalani hidup
ReplyDelete